Makalah
Al Islam Kemuhammadiyahan 2
Kelompok
2
Nama : Moch Tegar Wicaksono Al Ghany Npm :
15.0501.0002
Nama : Ryan Abdul Azis Npm : 15.0501.0006
Nama : Zulfi Ilham Majid Npm : 15.0501.0030
Teknik
Industri
Universitas
Muhammadiyah Magelang
Tahun
2016/2017
DAFTAR ISI
Pengertian Puasa………………………………………………………………………. 1
Dasar Hukum Puasa…………………………………………………………………...
2
Macam-macam
Puasa…………………………………………………………………..3
Syarat rukun puasa……………………………………………………………………...4
Syarat-syarat wajib puasa………………………………………………………………5
Fardlunya puasa, ada empat fardlunya puasa…………………………………………6
Tujuan Puasa…………………………………………………………………………….7
Tingkatan Puasa…………………………………………………………………………8
Hikmah Puasa…………………………………………………………………………..9
A. Pengertian
Puasa
1. Pengertian
Puasa secara etimologi
Puasa
dari segi bahasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kalf) dari
sesuatu, dengan kata lain yang sifatnya menahan dan mencegah dalam bentuk apapun
termasuk didalamnya tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama yang beretalian
dengan agama). Arti puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum
secara bahasa berarti ’menahan diri’(berpantang) dari suatu
perbuatan.
2. Pengertian
puasa secara terminologi
Puasa
artinya menahan dan mencegah diri dari hal-hal yang mubah yaitu berupa makan
dan berhubungan dengan suami istri, dalam rangka Taqarub ilallahi (mendekatkan
diri pada Allah swt,). Dalam hukum Islam puasa berarti menahan, berpantang,
atau mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan
diri dari terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).
Jadi,
pengertian puasa menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah kemauan
dari makan, minum. Bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh,
dari terbit fajar siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya
matahari (waktu maghrib), dengan tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah. Ada
juga yang mendefinisikan puasa dari segi syara’, puasa berarti menahan
diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang
yang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari,
dengan kata lain, Puasa adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa
dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan) serta menahan diri dari
segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu
dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar kedua (fajar
shadiq) sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak
melakukannya, yaitu orang muslim, berakal. Tidak sedang haid, dan tidak nifas.
Puasa harus dilakukan dengan niat; yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan
perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu, tujuan niat adalah membedakan
antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.
B. Sejarah Puasa
Awal
munculnya puasa berawal dari sejarah turunnya ayat Artinya : “ Maka makan,
minum, dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang manusia, maka
katakanlah: Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari
ini”. (Q.S. Maryam ; 26). Sejarah munculnya puasa memang sejak dulu pra agama
Islam, puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat umat
manusia sebelum Islam. Hal ini dapat diketahui dari ayat 183 : Al-Baqarah; kama
kutiba ‘alalladzina minqoblikum = sebagaimana telah ditetapkan atas
orang-orang yang sebelum kamu”. Istilah puasa pada era sekarang bukanlah
hal yang asing, ataupun baru, orang-orang mesir kuno telah mengenal puasa 5000
tahun sebelum agama samawi diturunkan orang Yunani dan Romawi juga telah
mengenal sebelum lahirnya agama Nasrani. Proses pelaksanaan puasa itu nampak
ketika ada larangan yang diberikan kepada Nabi Adam dan Dewi Hawa ketika berada
di surge tidak boleh makan buah pohon huldi (nama pohon ini tidak dapat dipastikan
karena tidak ada keterangan dari Al-Qur’an maupun Hadits), yang berimbas
keduanya diturunkan di dunia. Praktek puasa mulai nampak sejak dulu, sebagai
bukti diantaranya; Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. Bersama umatnya, diperintahkan
oleh Allah melakukan Puasa Ramadhan pada masa itu.
Walaupaun
berkelanjutan dengan adanya perubahan model yang dilakukan pendeta-pendetanya,
yaitu dengan menambah sepuluh hari, yang aslinya tiga puluh hari jadi empat
puluh hari, adanya dalih nazar ketika ada kaumnya yang sakit parah (pendeta),
apabila pendeta itu sembuh maka mereka akan menambahnya menjadi empat puluh
hari,
jadilah puasanya
kaum nasrani menjadi empat puluh hari. Nabi Muhammadpun melihat dari golongan
orang yahudi yang melakukan puasa hari Assyura pada waktu golongan itu belum
tersentuh dengan ajaran Islam, sehingga Nabi Muhammad menyuruh kepada umat Islam
untuk melakukan hal yang sama. Memang dalam pelaksanaan puasa sudah dilakukan sejak
dulu, sebelum Islam datang, praktek puasa pada masa itu istilahnya juga difardlukan
oleh Allah, sama difardlukannya ibadah puasa Ramadhan kepada umat Islam. Fakta
sejarah yang ditemui pada umat-umat dan bangsa-bangsa yang terdahulu
menunjukkan bahwa mereka melakukan puasa sebagai sebuah naluri fitrah tanpa
standar dan ukuran yang jelas serta tegas.
Tindakan para
pendeta Yahudi dan Nasrani, misalnya, kewajiban puasa selama tiga puluh hari di
bulan Ramadhan yang bertepatan dengan musim panas, mereka merubah waktunya
kemusim semi karena dirasa memberatkan. Puasa yang semula sehari mereka merubah
menjadi sehari semalam, yaitu mulai matahari terbenam hingga matahari terbenam
keesokannya. Ini membuktikan betapa terjadi distorsi pada ibadah puasa oleh
umat dan bangsa terdahulu.
Hal
ini terbukti pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 35, Allah melarang Nabi Adam
dan Dewi Hawa memakan buah pohon tertentu, sementara ada yang menamainya dengan
nama nuah huldi, buah kekekalan, sebagaimana tersebut dalam dalam Al-Qur’an
surah Thaha ayat 120, tetapi nama itu adalah nama yang diberikan setan. Inilah barang
kali puasa dalam arti menahan diri dari hal-hal yang dilarang.
C. Dasar Hukum Puasa
Al-Qur’an
menggunakan kata shiyam sebanyak 8 kali, kesemuanya dalam arti puasa
menurut pengertian hukum syariat. Al- Qur’an juga menggunakan kata shiyam satu
kali. Tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara, seperti diajarkan
malaikat Jibril kepada Mariam a.s. ketika ada yang mempertanyakan tentang
kelahiran anaknya (Isa a.s.) kata tersebut juga terdapat dalam bentuk perintah
berpuasa dibulan Ramadhan , satu kali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan
bahwa “berpuasa adalah baik untukmu” dan satu kali menunjukkan kepada
pelaku-pelaku puasa pria dan wanita yaitu ash-shaimin wash-shaimat. Artinya:
“Hai Orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S: 2: 183).
Dalam
Al-Qur’an, ada sebagian ayat yang diawali dengan “ya ayyuhannas” ( Wahai
manusia), dan ada pula ayat yang diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu” (wahai
orang-orang yang beriman). Ayat yang diawali dengan “ya ayyuhannas” pada
umumnya turun di Makkah sebelum nabi Hijrah, sedang ayat yang diawali dengan “ya
ayyuhalladzina amanu” turun di Madinah. Jika dilihat ayat diatas, ayat
tersebut diawali dengan “ya ayyuhalladziina amanu”. Ayat ini
mewajibkan puasa kepada orangorang yang beriman dengan memakai kata kutiba.
Secara harfiah kata kutiba berarti dituliskan. Tetapi dalam ini berarti
diwajibkan. Alasan menggunakan lafadz kutiba, menurut ulama’ tafsir, kewajiban
puasa telah ada sejak sejarah manusia. Karena itu. Allah tidak menggunakan
redaksi kata furidha (diwajibkan/difardhukan) melainkan kata kutiba alasannya
antara lain; pertama, kata kutiba
mempunyai arti
seolah-olah dia sudah tertulis begitu lama sehingga tetap menjadi kewajiban,
masalahnya ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Kalau hukum sudah
berlangsung lama dan begitu penting, biasanya disebut hukum tertulis. Kata kutiba
juga menunjukkan bahwa kewajiban puasa sudah ada sejak Nabi Adam a.s. kedua,
dipakai kutiba karena pentingnya kewajiban ini. Puasa adalah suatu
kewajiban yang sangat penting, bukan sekadar perintah biasa, dikatakan penting
karena Allah sendiri yang akan memberikan imbalan pahala kepada orang yang berpuasa.
Ketiga, kewajiban puasa ini tertulis di semua kitab suci yang
azali, seperti
terdapat dalam kitab Injil, Zabur, dan Shuhuf-shuhuf Ibrahim, perbedaannya
hanyalah pada tata caranya sedangkan kewajiban puasanya itu sendiri sudah
tertulis.
Kemudian
arti Al-Shiyam (bentuk jamak dari shaum, puasa) puasa adalah menahan,
tentu bukan hanya sekedar menahan nafsu, makan dan minum. Said agil Husain
Al-Munawar et. al., Meramadhankan Semua Bulan puasa Sebagai Tangga
Ruhani, (Jakarta,: Iman Dan Hikmah), hlm. 64-65.
Prinsip
shiyam adalah menahan diri dari makan dan minum, menggauli istri, boros
dan melakukan segala tindakan yang merusak hubungan dengan Tuhan, jadi Shiyam
itu menahan bukan hanya dari makan dan minum, tapi segala-galanya. Lafadz kama
kutiba ‘ala laadzina min qablikum (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu). Kewajiban puasa sudah ada sejak dulu jauh sebelum Nabi Muhammad
SAW. Tapi tatacara yang berbeda-beda tapi esensinya sama, yaitu pengendalian
diri agar menjadi hamba yang bertakwa. La’allakum tattaqun (agar kamu
bertakwa) kata la’ala (agar) menunjukkan adanya kaitan antara kata takwa
dengan pelaksana utama, sementara untuk arti takwa sendiri terperinci sebagai
berikut; dimulai dari arti lafadz ta’ itu sendiri, diartikan dengan tawakal15
(pasrah, menyerahkan kepada Allah SWT), ada pula yang mengartikan
dengan arti tawadu’ (merendahkan diri), tidak sombong, sopan santun,
tahu diri keberadan manusia sebagai Khalifah. Selanjutnya arti lafadz “qaf’
diartikan dengan qana’ah (menerima, bersikap sederhana) menerima
atas semua yang telah diberikan oleh Allah selama ini. Tidak ambisius
terhadap hal-hal yang belu diberikan, kemudian lafadz, wawu, diartikan
dengan wara’ (menjaga diri dari semua perbuatan dan makanan yang tidak
halal serta tidak membiasakan dengan dosa-dosa kecil) terutama dalam puasa.
Q.S.
Al-Baqarah : 184 Artinya : “ (yaitu) dalam beberapa harai yang tertentu. Maka
jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak sehari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bai orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin,
barang siapa yang dengan kertelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah : 184). Kedua, hari-hari
tertentu yang memberikan gambaran bahwa orang-orang sakit tidak bisa berpuasa
dihari-hari tertentu. Semuanya itu harus diganti dengan hari yang lain, ketiga,
dikatakan bulan ramadhan karena bulan itu diakhir kedua puluh sembikan atau
ketiga puluhnya. Jadi diakhir bulan hijriyah, kemudian untuk arti maridla,
disini ada beberapa pendapat, tapi penulis lebih cenderung mengarahkan pada
pendapat yang mengatakan bahwa yang boleh untuk tidak berpuasa adalah bagi
mereka yang dapat melemahkan fisik (tubuh seseorang/remaja) seseorang untuk
menjalani ibadah puasa atau kalau si penderita itu tidak mau minum obat ia akan
parah, jadi ketika ia berpuasa kemudian ia tidak mampu dalam kewajaran maka ia diperbolehkan
untuk tidak berpuasa. Untuk masalah musafir dalam lafadz Aw ‘ala safarin, (
mereka yang musafir) dijelaskan bagi mereka yang bebergian jauh yang sudah menempuh
40 mil , kemudian yang menjadikan patokan perjalanan selama itu adalah kadar masyaqqahnya
(keberatannya), ketika musafir
(orang yang
bepergian) itu pergi dalam keadaan puasa itu menemui keneratan maka
diperbolehkan untuk berbuka. Sementara untuk lafadz waantasumu khairun lakum
inkuntum
ta’lamun( puasa itu baik
jika kamu mengetahui), disini dapat diartikan kata khair disini
menunjukkan keabikan bak dari sisi dunia maupun akhirat. Dari sisi akhirat
sudah pasti mendapatkan pahalnya berlipat ganda, dari sisi dunia, puas sebagai
perisai seseorang (remaja) dalam kehidupannya. Sehingga orang yang berpuasa
selam satu bulan atau hingga lebih ia akan tetap terjaga.
” Islam itu ditegakkan atas lima dasar, yaitu
menyaksikan bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah melainkan Allah dan bahwa
Nabi Muhammad saw itu utusan Allah, mengerjakan shalat (lima waktu), membayar
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji.” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
1) Macam-macam Puasa
Macam-macam
puasa disini banyak yang menggolongkan, istilahnya pun beda-beda, ada yang
menggolong menjadi 5 golongan;
- puasa Fardlu,
- puasa Qadha,
- puasa Nazar,
- Puasa Kafarat,
- PuasaTathawwu’
(sunat), tapi ada pula yang mengistilahkan lain yakni;
-Puasa Wajib,
-Puasa kafarat,
-Puasa yang
diharamkan,
- Puasa makruh,
puasa yang
dimakruhkan, Puasa Sya’ (ragu-ragu)
a) Puasa wajib.
(fardlu)
Puasa wajib
disini bisa juga disebut dengan puasa fardlu, yang terdiri dari Puasa Ramadhan,
puasa qadla’(mengganti puasa Ramadhan yang batal pada hari-hari yang
lain), puasa kifarat (puasa yang diwajibkan karena melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan agama).
Dan puasa untuk
melaksanakan nazar (puasa yang dijanjikan oleh seseorang atas dirinya),
semuanya hukumnya wajib. Namun biasanya yang dikategorikan puasa fardlu di sini
adalah Puasa Ramadhan.
b) Puasa kafarat
.
Ialah Puasa yang
wajib ditunaikan karena berbuka dengan sengaja dalam bulan Ramadhan (dalam hal
ini khilaf), bukan karena sesuatu ‘udzur yang dibenarkan syara’, karena
bersetubuh dengan sengaja dalam bulan ranadhan pada siang hari, karena membunuh
dengan tidak sengaja, karena mengerjakan sesuatu yang diharamkan dalam Haji, serta
tidak sanggup menyembelih binatang Hadyu, karena merusak sumpah dan berdziar
terhadap istri (menyerupakan Bentuk Tubuh Istri Disamakan Dengan Muhrimnya).
Puasa kafarat ini mempunyai beberapa bentuk. Diantaranya puasa kafarat karena
salah membunuh, puasa kafarat karena sumpah dan nazar. Bentuk-bentuk ini mempunyai
hukum-hukum tertentu. Puasa kafarat, ialah puasa yang wajib dikerjakannya untuk
menutupi sesuatu keteledoran yang telah kita (remaja) lakukan;
a. Karena
merusak puasa dengan bersetubuh, yaitu dengan puasa dua bulan berturur-turut.
b. Karena
membunuh orang dengan tidak sengaja, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, jika
tidak sanggup harus memerdekaan seorang budak
c. Karena
seseorang (remaja) mengerjakan sesuatu yang haram dikerjakan dalam ihram, serta
tidak boleh menyembelih binatang Hadyu.
c) Puasa yang
diharamkan.
Ialah puasa yang
dilakukan diwaktu hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, pada hari Tasyriq (tanggal
11,12,13 zulhijjah ), istri melakukan puasa sunnah tidak mendapatkan izin dari
suami. Untuk masalah puasa hari raya semua ulama’ sepakat mengharamkan, kecuali
Imam Hanafi, alasannya berpuasa pada dua hari raya tersebut adalah
makruh yang diharamkan itu adalah hampir mendekati kepada haram, sementara
untuk masalah puasa di hari Tasyriq, para ulama’ berbeda pendapat, Imam
Syafi’i puasa hari Tasyriq hukumnya tidak dihalalkan, baik pada
waktu melaksanakan ibadah haji atau bukan, Imam Hambali; tidak diharamkan
berpuasa pada hari tasryiq, selain melaksanakan haji, tetapi tidak diharamkan
kalau pada waktu melaksamnakan haji, Imam Hanafi; berpuasa pada hari Tasyriq
adalah makruh hanya
diharamkan pada
hari 11 dan 12 Zulhijjah pada waktu selain haji, tapi tidak diharamkan kalau
dalam melaksanakan ibadah haji, sementara puasa sunnahnya istri ulama’ sepakat
bahwa istri tidak boleh berpuasa sunnah tanpa mendapatkan izin suaminya, kalau puasanya
mengganggu hak-hak suaminya selain menurut Imam Hanafi, beliau
mengatakan puasa istri tanpa izin suaminya adalah makruh saja bukan haram.
d) Puasa makruh,
Ada beberapa
pendapat tentang puasa ini, para ulama’ sepakat tentang hari-hari makruh dalam
melakukan puasa, yakni:Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm.
165.
29 Rahman Sani, op.cit.,
hlm. 39-41. Hanya hari jum’at saja, puasa hari sabtu saja, sehari atau dua hari
sebelum puasa Ramadhan serta puasa separuh terakhir pada bulan Sya’ban yang
tidak ada hubungannya dengan hari-hari sebelumnya dan tidak ada sebab yang
mengharuskan atau mewajibkan untuk berpuasa.
e) Puasa yang
disunnahkan.
Puasa yang dilaksanakan
diluar bulan Ramadhan sebagai tambahan yang dianjurkan. Serta dapat melengkapi
yang fardlu apabila tidak ada kekurangan atau cacat padanya. Puasa
sunnah dapat diistilahkan dengan puasa tathawu’ antara lain; puasa enam hari
di bulan syawal, puasa tanggal 9 Dzulhijjah, puasa ‘Assyura dan Tasyu’a
yaitu hari yang kesepuluh dan kesembilan di bulan Muharram, puasa tiga hari
di tiap-tiap bulan (tanggal 13, 14, 15, bulan qamariah), puasa senin kamis,
puasa di bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)30,
puasa di bulan Sya’ban dan puasa Daud, yaitu puasa sehari puasa sehari tidak puasa,
puasa setiap hari senin dan hari kamis31, serta puasa lain yang tidak menentang
pada syara’.
f) Puasa Sya’
(ragu-ragu)
Puasa hari sya’
itu biasanya dikerjakan ketika apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum,
kemudian ada titik terang bahwa hari tersebut masuk bulan ramadhan, oleh para
ulama’ ada khilafiyah untuk masalah mengqhadha’ atau apakah mendapat pahala,
menurut Imam Hanafi ia mendapatkan pahala dan tidak wajib mengqhada’. Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit. hlm. 77.
Tapi untuk Imam
Syafi’i , Imam Hambali, Imam Maliki, berpendapat puasanya
tidak mendapatkan pahala dan ia harus mengqhada’nya.
2) Syarat rukun puasa
a) Niat
Orang yang menjalankan
puasa haruslah melakukan niat didalam hati dimalam hari, karena setiap
perbuatan dikatakan sah apabila disertai dengann niat, amal (perbuatan) tanpa
niat maka sia-sialah perbuatan tersebut, begitu pula untuk puasa diwajibkan
untuk niat. Niat diwajibkan bagi puasa yang wajib ataupun puasa nazar tapi untuk
puasa sunah tidak disyaratkan niat pada malam hari namun yang penting niat
sebelum tergelincirnya matahari walaupun pada malamnya tidak ada niat untuk
puasa. Disamping itu juga puasa untuk setiap harinya merupakan ibadah yang
tersendiri-sendiri, jadinya untuk setiap melakukan puasa, wajib melakukan niat didalam
hari pada waktu malam harinya, pada tiap-tiap malam.
“ (Niat)
dikarenakan perkataan Nabi Muhammad yang berbunyi; sesungguhnya perbuatan itu
harus dengan niat dan wajib niat untuk setiap hari, karena puasa itu setiap harinya
merupakan ibadah yang tersendiri agar bisa menghalalkan perkara yang bisa
merusak puasa diantara
dua hari seperti
shalat.”
Jadi yang
dikehendaki dalam ibadah puasa disini adalah harus adanya niat, untuk
membedakan antar ibadah satu dengan yang lainnya.
b) Menahan diri
dari makan dan minum serta bersetubuh dan sengaja muntah.
Pengertian puasa
menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum.
Bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh, dari terbit fajar
siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari35 (waktu maghrib), dengan tunduk
dan mendekatkan diri kepada Allah. Jadi dengan sendirinya orang (remaja) yang
puasa tidak boleh makan dan minum dengan sengaja pada waktu yang dilarang
ketika puasa, tapi apabila tidak sengaja maka mereka (remaja) wajib qadla’, ini
menurut Ulama’ madzab namun untuk masalah pembayaran kafarah para Ulama’
madzab berbeda pendapat, Imam Hanafi mewajibkan membayar kafarah, sedangkan
Imam Syafi’i dan Imam Hambali tidak mewajibkan membayar, tetapi
bagi orang yang makan dan minum dengan atau karena lupa, maka tidak harus
mengqhada’ dan tidak pula membayar kafarah. Apalagi mereka melakukan
bersetubuh diwaktu puasa, maka mereka wajib mengqhada’ dan membayar kafarah,
ini menurut Ulama’ madzhab. Sementara membayar kafarahnya adalah
dengan memerdekakan budak, dan apabila tidak mendapatkan atau tidak bisa
membeli budak, maka ia (remaja) harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Dan jika tidak mampu, maka mereka (remaja) harus memberikan, akan kepada enam
puluh orang fakir miskin. Namun seandainya mereka (remaja) tidak mampu maka
mereka (remaja) berhak atas pemberian itu, untuk masalah muntah diwaktu puasa dengan
sengaja maka puasanya dapat merusak puasanya dan wajib mengqadla’nya ini
menurut Imam Syafi’i , dan Imam Maliki, sedang menurut Imam
Hanafi, orang yang muntah tidak membatalkan puasa, kecuali kalau muntahnya
sampai memenuhi mulutnya, sementara Imam Hambali berpendapat muntah
karena terpaksa tidak membatalkan puasa.
3) Syarat-syarat wajib puasa
a) Islam
Puasa dalah
ibadah Islamiyah, tidak sah dilakukan oleh orang yang bukan Islam, apabila
seseorang kafir, baik asli, beribu bapa kafir, besar dalam kekafiran39 atau
kafir murtad berniat berpuasa, maka tidaklah sah puasanya. Apabila seorang
(remaja) muslim yang sedang berpuasa menjadi murtad karena mencela agama Islam,
atau mengingkari sesuatu hukum Islam yang diijma’i oleh umat atau dia
mengerjakan sesuatu yang merupakan penghianatan
bagi Al-Qur’an
atau memaki seorang Nabi, niscaya keluar mereka dari Islam dan batallah
puasanya.
b) Baligh
(sampai umur)
Dalam
pelaksanaan ibadah puasa, bagi orang (remaja) muslim haruslah berumur baligh,
batasan antara laki-laki dan wanita beda, uintuk batasan laki-laki ditandai
dengan keluarnya air sperma (mimpi basah) kira-kira berumur 10-13 tahun. Namun
untuk wanita diketahui dengan keluar darah haid, sekitar umur 9- 11 tahun, akan
tetapi untuk batasan itu tidaklah mutlak, yang penting berapa umur anak itu
yang esensi mereka keluar air sperma untuk laki-laki, keluar darah haid bagi
wanita.
c) Berakal
Ibadah puasa
haruslah dilaksanakan oleh orang (remaja) yang muslim yang berakal, serta
tamyiz (bisa membedakan perkara yang baik dan perkara yang buruk). Orang
(remaja) gila tidak boleh melakukan ibadah puasa karena orang gila tidak
termasuk mukallaf (orang yang kena tuntutan ibadah), maka dengan demikian puasa
tidak wajib bagi orang (remaja) gila ketika sedang gila dan kalau dia berpuasa,
maka puasanya tidak sah, anak kecil tidak diwajibkan berpuasa, tetapi puasanya
tetap sah kalau anak tersebut sudah mumayyiz.
d) Suci dari
haid dan nifas bagi wanita
Khusus bagi
wanita yang haid nifas jika mereka melaksanakan puasa maka puasanya tidak syah
(batal), serta mereka harus mengqhada’ puasanya, sebagaimana hadits; Artinya :
“ Dari Abi Sa’id berkata: Nabi Muhammad bersabda tidak ada perbuatan apapun
apabila seseorang wanita (remaja) berhalangan haid maka tidak boleh shalat dan tidak
boleh puasa, karena perbuatan itu termasuk bisa mengurangi agama wanita
(remaja) itu ”. (H.R. Bukhari).
e) Berada
dikampung, kota, tidak wajib atas orang musafir orang yang bepergian).
Diwajibkan puasa
bagi orang Islam (remaja) itu ketika mereka berada di Desanya, namun ketika
bepergian maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Itupun kalau mereka menggunakan
Rukhsah (keringanan) itu. Asalkan keluarnya mereka sesuai dengan
syarat-syarat yang diperbolehkan untuk melakukan Shalat Qashar.
f) Mampu/kuasa
untuk berpuasa, tidak wajib atas orang yang lemah dan orang sakit.
Imam empat
madzhab mengemukakan, kalau orang yang berpuasa sakit dan menghawatirkan dengan
dirinya, ketika mereka (remaja) berpuasa maka mereka (remaja) bila suka
berpuasalah dan bila tidak maka berbukalah tertapi tidak ada ketentuan (keharusan)
berbuka baginya, karena berbuka itu merupakan rukhsah (keringanan), bukan
keharusan bagi orang yang berada sakit. Untuk mengetahui apakah mereka (orang
yang berpuasa) itu sakit atau penyakitnya akan bertambah parah bila mereka
berpuasa, maka cukuplah baginya menggunakan perkiraan atau ijtihadnya sendiri.
Kalau dirinya sangat lemah, maka hal tersebut bukan menjadi sebab untuk
diperbolehkan berbuka puasa (selama kelemahan itu sudah biasa bagi dirinya)
karena yang menjadi sebab diharuskannya (kewajiban) berbuka adalah sakit itu
sendiri, bukan karena kelemahan, keletihan atau kelelahan.
4) Fardlunya puasa, ada empat fardlunya
puasa;
a) Niat
Orang yang
berpuasa haruslah melakukan niat didalam hatinya diwaktu malam harinya, karena
niat merupakan bagian dari ibadah itu sendiri. Sebab setiap perbuatan yang ada
sangkut pautnya dengan ibadah maka niatlah yang dijadikan patokan sah tidak
diterimanya amal perbuatan manusia (remaja), puasa yang diharuskan niat diwaktu
malam harinya hanyalah puasa wajib, puasa nazar. Namun untuk puasa yang sunah
niatnya yang penting
sebelum
tergelincirnya matahari.
b) Menahan dari
makan dan minum
Arti puasa itu
sendiri menahan diri dari makan dan minum, dengan sendirinya ketika seseorang
(remaja) menjalani ibadah puasa maka mereka haruslah menahan dari perkara yang
dilarang dalam puasa, termasuk dalam masalah makan dan minum. Menahan diri ini
dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
c) Menahan tidak
bersetubuh
Orang puasa
sengaja bersetubuh maka mereka wajib mengqhada’ puasanya serta wajib membayar kafarah,
untuk kafarahnya menurut ulama’ madzhab adalah; dengan memerdekakan budak, dan
bila tidak mendapatkan, maka mereka (remaja) harus berpuasa selama dua bulan
berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka mereka (remaja) harus memberi
makanan kepada enam puluh orang fakir miskin, apabila mereka (remaja) tidak
mampu justru mereka (remaja) mendapat santunan atau sumbangan itu.
d) Tidak sengaja
memasukkan sesuatu lewat lubang
Orang (remaja)
yang berpuasa dilarang memasukkan sesuatu kedalam lubang yang menjurus kearah
perut, bentuk apapun yang penting sesuatu itu ketika dimasukkan mengarah atau
menjurus ke arah perut.
D.
Puasa dalam
pandangan Islam adalah ibadah vertikal, langsung kepada Illahi Rabbi dilakukan
oleh seseorang (remaja) hamba secara sendiri-sendiri (individual). Pesan untuk
berpuasa bagi segenap umat Islam disandarkan pada etika yang terdapat dalam
Al-Qur’an yang menjadi pedoman mutlak bagi kebebaran maupun keabsahannya dalam
kehidupan. Secara jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau realisasi ketakwaan yakni
menjalankan perintah Allah SWT. dan
menjauhkan diri
dari segala sesuatu yang dilarang-Nya52 dan la’allakum tattatquun. Ini
berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari
puasa. Puasa merupakan satu ibadah yang unik. Segi keunikannya misalnya,
bahwa puasa merupakam rahasia antara Allah dan pelakunya. Bukankah manusia
yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai
insan, siapapun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum
pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa?. Kalau demikian,
apa motivasinya menahan diri dari keinginan itu tentu bukan karena takut
atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat bersembunyi dari
pandangan mereka. Namun kenyataannya manusia melaksanakan ibadah puasa
hanya karena Allah SWT semata, bukan karena unsur lain. Berpuasa bagi
orang Islam (remaja) bukan saja berbakti kepada Allah, tetapi disiplin jiwa dan
moril, suatu kesadaran hidup yang tinggi bukankah tidak ada daya nafsu
yang lebih besar dari pada melepaskan lapar, sedang makan dan minuman
dibawah dipelupuk mata, meskipun demikian, daya nafsu ini dikalahkan
oleh orang yang berpuasa. Puasa telah lama dikenal oleh umat manusia,
namun mereka bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena
generasi abad sekarang inilah masih melakukannya. Puasa dalam arti “
mengendalikan dan menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam
waktu–waktu tertentu” dilakukan antara lain dengan tujuan memelihara
kesehatan atau merampingkan tubuh, atau dalam bentuk mogok makan sebagai
pertanda protes atas perlakuan pihak lain, atau dilakukan sebagai tanda solidaritas
atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, seperti yang terdapat
disentara suku-suku di India dan lainnya yang hingga kini masih berlaku.
Puasa dengan makna ragam tujuan dan bentuk tersebut dihimpun oleh satu
esensi, yaitu “pengendalian diri”. Puasa yang dilakukan umat Islam
digaris bawahi oleh Al-Qur’an sebagai “bertujuan untuk memperoleh
takwa”.
Tujuan tersebut
tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti
puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok yang menyangkut hakikat
manusia dan kewajibannya dibumi ini. Pertama, manusia diciptakan oleh
Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya, dan diberikan
potensi untuk mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya
wajar untuk menjadi Khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi
ini. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi, ia (Adam) melewati
(”transit” di) surga, agar pengalaman yang diperolehnya disana dapat dijadikan
bekal dalam menyukseskan tugas pokok di bumi ini. Pengalaman tersebut antara
lain adalah persentuhannya dengan keadaan di surga itu sendiri. Ibadah puasa
bukan hanya sekedar rutinitas tahunan (bulan Ramadhan) dengan mengerjakan amal
ibadah seperti membaca Al- Qur’an, shalat tarawih dan berbagai aktivitas rutin
lainnya, akan tetapi lebih dari itu, ibadah puasa hendaknya dapat mendidik
seseorang (remaja) mengantarkan pribadi-pribadi yang tangguh, memiliki komitmen
moral yang tinggi serta membentuk kepribadian muslim yang paripurna. Secara
jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan
adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun.
Dalam rangka
memahami tujuan tersebut agaknya perlu digaris bawahi, banyak diantara orang
yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari Puasanya, kecuali rasa lapar dan
dahaga. Banyak orang berpuasa tidak ada nilai baginya kecuali lapar dan dahaga.
Dan banyak orang bangun malam tidak ada nilai baginya selain terjaga (tidak
tidur) dan kepayahan. Itu adalah hasil yang diperoleh oleh orang (remaja) yang
berpuasa ketika tidak tahu apa yang menjadi
tujuan pokoknya.
Ada pengartian arti takwa itu sendiri; yang diartikan menurut masing-masing
huruf hijaiyyah pembentuk kata ’taqwa’ (dalam bahasa Arab),
memberikan ciri-ciri orang yang bertakwaa sebagai berikut. Pertama, Tawadu’,
maksudnya, sopan santun, tidak sombong, tidak berbuat sewenang-wenang.
Orang yang bertakwa meyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Apa yang ada paada
dirinya: pangkat, kedudukan, jabatan atau kekayaan, hanyalah barang titipan
yang pada saatnya nanti akan diambil oleh Allah, karena Allah lah pemiliknya yang
hakiki, maka dari itu sungguh tidak pantas ketika puasa seseorang (remaja)
menyombongkan diri dengan modal barang titipan. Kedua, Amanah, maksudnya,
bersikap sederhana, bila seseorang (remaja) telah mampu menyadari siapa dirinya
dan mampu menekan egonya yang tidak baik, maka ia tidak akan bersikap aneh (yang
menyalahi aturan agama). Tidak ambisius untuk mencapai sesuatu dengan jalan
yang tidak benar. Ketiga, wara’; menjaga diri dari semua perbuatan dan
makanan yang tidak halal, orang yang bertakwa tidaak akan melakukan penyelewengan,
tidak akan korup dan tidak akan melakukan perbuatan yang tidak benar.
Puasa merupakan
suatu rangka pokok dari rangka-rangka pembinaan Iman, dalam Nash Al-Qur’an dan
Al-Hadits, serta ijma’ yang muktabar menyatakan bahwa puasa benar-benar
suatu rangka dari kerangka pembinaan iman puasa. Suatu rukun dari rukun dari
rukun-rukun Islam, dan suatu ibadah ruhiyah yang positif yang difardlukan
secara tetap dan teguh. Puasa merupakan salah satu ibadah besar dalam agama
Islam. Ia termasuk dalam amal badani, amal nafsi (amal yang
berkaitan dengan jiwa) dan amal Ijabi (amal yang positif) karena itu
puasa melibatkan jasmani dan rohani sekaligus, hal ini berbeda dengan ibadah
lain, yang lain hanya melibatkan jasmani atau rohani saja, disamping itu pula puasa
Ramadhan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga hal ini terasa
berat. Dikatakan amal badani karena puasa menuntut adanya kemampuan dari
segi fisik. Yang diwajibkan puasa adalah orang-orang yang mampu untuk
melaksanakannya. Diluar itu tidak ada kewajiban baginya, karena ia merupakan
salah satu syarat wajib berpuasa. Oleh sebab itu orang-orang yang tidak mampu
seperti orang sakit, orang dalam perjalanan, orang yang sudah tua renta hamil
atau menyusui tidak diwajibkan berpuasa akan tetapi bagi mereka adalah
mengganti pada hari-hari yang lain atau membayar fidyah. “Maka barang
siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berkata),
maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka
tidak puasa) membayar fidyah (yaitu): member makan seorang miskin”. (Q.S.2:184).
“Dari Abi Hurairah r.a Sesungguhnya Rasulullah
telah bersabda : “Puasa itu benteng, janganlah ia berkata keji, dan mencaci
maki ! seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencaci makinya
hendaklah ia dikatannya : “Saya ini berpuasa” dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad
berada ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa, lebih harum disisi Allah
dari pada bau kasturi, firman-Nya : “Ditinggalkannya makan minum Dan Syahwat karena
aku. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikannya ganjaran, sedang
setiap kebajikan itu akan memberinya ganjaran sepuluh kali lipat”. Menurut
Quraish Shihab puasa yang dilakukan umat Islam digaris bawahi Al-Qur’an sebagai
:”bertujuan untuk memperoleh takwa”. Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati
arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman
terhadap dua hal pokok menyangkut hakekat manusia dan kewajibannya di bumi ini.
Pertama, manusia diciptakan oleh Allah dari tanah kemudian dihembuskan
kepadanya ruh ciptaan-Nya dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya
hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya wajar untuk menjadi Khalifah
(pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi ini Tuhan menciptakan manusia
diberi potensi untuk memiliki sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan sebagai
makhluk. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi Adam melewati
surga, agar pengalamannya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas
pokoknya dibumi. Hal ini mendorongnya untuk menciptakan bayangan surga di bumi,
sebagaimana pengalamannya dengan setan mendorongnya untuk berhati-hati agar tidak
terpedaya lagi sehingga mengalami kepahitan yang dirasakan ketika terusir dari
surga64.
E. Tingkatan
Puasa
“Hai Orang-orang yang beriman telah diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa” (Q.S: 2: 183). Derajat orang berpuasa ada tiga thabaqat derajat;
Akhmad Syarifuddin memaparkan pendapatnya Imam Al-Ghazali dan
para ulama’ lain mengklasifikasikan puasa dalam tiga tingkatan;
1. Puasa Umum
(Awam).
Puasa hanya
sekedar mengekang diri dari makan, minum, serta bersetubuh dengan istri di
siang hari, atau hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Tingkatan ini lazim
dikaitkan dengan masyarakat awam pada umumnya karena itu dinamakan shaumul
awwam ’puasa model orang awam’
2. Puasa Khusus.
Puasa dengan
mengekang diri dari makan, minum. Serta bersetubuh dengan istri di siang hari,
atau hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa, meninggalkaan makan, minum dan
syahwat karena Allah dengan mengharapkan ampunan dan surga atau terhindar dari
api neraka. Disamping itu. Mata, telinga, kaki dan yang dipelihara dari melakukan
hal-hal yang dilarang oleh agama, seperti dusta, adu domba, dan berbuka dengan
makanan haram. Tingkatan puasa kedua yang disebut shaumul khusus atau shaumul
khawas’puasa orang-orang pilihan‘ yang lazim dikerjakan orang-orang saleh.
3. Puasa khusus
dari yang khusus.
Puasa dengan
memelihara stabilitas hati dari tujuan yang bersifat duniawi, disamping
memelihara diri dari perbuatan dosa dan hal-hal seperti makan, minum, dan seks,
serta hal-hal yang membatalkan puasa, meninggalkan makan dan minum serta
syahwat, bahkan menahan hati dari segala yang lain dari Allah, karena
semata-mata mengharap keridlaan-Nya saja, sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi
dan Rasul, dan karenanya disebut dengan nama syaumul khususul khusus “puasa
model orang-orang pilihan diantara para pilihan”.
F. Hikmah Puasa
Adapun hikmah berpuasa
dalam Islam, adalah untuk mempersiapkan kita memperoleh takwa bukan untuk
sesuatu kepentingan Tuhan. Mekanisme puasa tidak hanya berpengaruh terhadap
kesehatan jasmani, tetapi juga terhadap rohani pelakunya, lebih dari itu,
kesehatan
jasmani dan kesehatan
rohani akan berpengaruh terhadap kesehatan sosial. Puasa yang mencapai tingkat
ihsan dan itqan adalah puasa yang memadukan aktivitas fisik dan aktivitas
psikis. Puasa lahir dan puasa batin. Disamping mengendalikan diri dari makan,
minum, seks, dan semacamnya juga mengupayakan menahan diri dari maksiat.
Anggota tubuh yang berpuasa tidak hanya mulut dan kemaluan (Farj), namun
mata, telinga, tangan, kaki, dan hati juga diupayakan turut berpuasa. Dalam
permasalahan ini dalam kaitannya dengan hikmah yang terjadi dalam melaksanakan
ibadah puasa secara garis besar di uraikan dalam dua masalah;
1. Pengaruh
puasa terhadap kesehatan jasmani.
Tubuh manusia
dibekali beberapa terapi alamiah dalam keadaan tubuh tidak kemasukan sebutir
nasipun, manusia masih mempunyai cadangan energi yang disebut glikogen.
Cadangan yang diperoleh dari karbohidrat ini bertahan selama 25 jam, dengan
demikian, anak atau seseorang yang menjalankan puasa tidak perlu khawatir menjadi
sakit karena tubuh mempunyai mekanisme alamiah untuk mempertahankan dirinya.
(a)
Mengistarahatkan organ-organ pencernaan
Manusia dalam
kesehariannya atau diluar puasa bulan puasa ketika sedang tidak berpuasa,
alat-alat pencernaan di dalam tubuh akan bekerja ekstra keras, oleh karena itu.
Sudah sepatutnya alat pencernaan tersebut diberi waktu untuk beristirahat,
paling sedikitnya selama satu bulan dalam setahun. Makanan yang masuk kedalam
tubuh manusia (remaja) memerlukan proses pencernaan kuramng lebih dari delapan jam
yang terdiri dari empat jam diproses di dalam lambung dan empat jam di usus
kecil (ileum).
(b) Membersihkan
tubuh dari racun, kotoran dan ampas
Dalam tubuh
manusia terdapat sampah berbahaya semisal feaces atau tinja, urine,
CO 2 dari keringat maka dari itu tubuh akan terancam bahaya juka mengalami
sembelit yang disebabkan oleh menumpuknya sisa-sisa sari makanan (tinja) di
usus yang dampaknya akan menyebabkan tinja/racun terserap kembali pada tubuh.
(c) Mempercepat
regenerasi kulit
Tubuh
manusia(remaja) mengalami metabolisme energi yakni, peristiwa perubahan
dari energi yang terkandung dalam zat gizi menjadi energi potensial dalam
tubuh, sisanya akan
disimpan dalam
tubuh, sel ginjal, sel kulit, pelupuk mata serta dalam bentuk lemak dan glikogen.
Cadangan gizi inilah yang akan membakar menjadi energi jika jika tubuh tidak
mendapat suplai pangan dari luar, ketika berpuasa manusia (remaja) akan cadangan
energi yang tersimpan dalam organ-organ tubuh akan dikeluarkan, yang akhirnya
melegakan pernafasan organorgan tubuh dan sel penyimpanan. Menghambat
perkembangan atau pertumbuhan bakteri, virus dan sel kanker. Dalam tubuh
manusia (anak) terdapat parasitparasit yang menumpang hidup termasuk menumpang
makan dan minum, dengan jalan menghentikan pemasukan makanan. Maka kuman-kuman
penyakit seperti bakteri-bakteri dan selsel kanker tidak akan bisa bertahan
hidup, mereka akan keluar melalui cairan tubuh bersama sel-sel yang telah mati
dan toksin.
(d) Meningkatkan
sistem kekebalan tubuh
Adanya
penambahan sel darah putih, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
para ahli kesehatan. Meningkatkan daya serap tubuh, Umumnya orang hanya menyerap
35 % dari gizi makanan yang dikonsumsinya dengan berpuasa penyerapan gizi dapat
mencapai 85 %.
(e) Menciptakan
keseimbangan elektrolit di dalam lambung
Keberadaan zat
kimia yang bersifat alkali dan bersifat asam di dalam tubuh manusia
(remaja) harus seimbang.
(f) Memperbaiki
fungsi hormon
Kelenjar endokrin
akan menghasilkan zat-zat kimia yang mengeluarkan hormon, jika tugasnya
sudah selesai, maka pengeluaran hormon akan dihentikan untuk sementara waktu sambil
menunggu tugas yang sama berikutnya, hal ini karena pada saat-saat terttentu
misalnya disaat sedih, gembira, cemas, bersikap sosial dan sebagainya.
(g) Meningkatkan
fungsi organ reproduksi
Peningkatan fungsi
organ reproduksi ini erat kaitannya dengan peremajaan sel yang mendatangkan
perubahan pada sel-sel urogenitalis dan jaringan-jaringan organ
reproduksi wanita, terjadi perubahan metabolik pada saat menjalankan
puasa, terutama yang dilangsungkan lewat kelenjar-kelenjar endokrin.
(h) Meremajakan atau mempercepat pegenasi sel-sel
tubuh.
Organ-organ
tubuh ketika manusia menjalankan puasa organ ini akan dalam keadaan rileks,
organ-organ tubuh disini terdiri dari jaringan-jaringan yang merupakan kumpulan
dari sel-sel
sejenis serta
ada berbagai macam sel dalam tubuh manusia, antara lain sel darah, sel tulang,
sel syaraf, sel otot dan sel lemak.
(i) Meningkatkan
fungsi fisiologis organ tubuh
Manusia (remaja)
berpuasa berati memberikan kesempatan interval selam kurang lebih empat belas
jam bgi organ-organ tubuh seperti lambung, ginjal dan lever, selama itu tubuh
tidak
menerima makanan
maupun minuman. Sehingga akan menimbulkan efek berupa rangsangan terhadap seluruh
sel, jaringan dan organ tubuh, efek rangsangan ini akan menghasilkan,
memulihkan dan meningkatkan fungsi fisiologinya, misalkan panca indra menjadi
semakin tajam dan peka.
(j) Meningkatkan
fungsi Syaraf.
Syaraf merupakan
merupakan bagian yang sangat vital, karena susunan syaraf terdiri dari otak dan
syaraf tulang belakang, permasalahannya otak bertindak atas dasar informasi
yang
diterimaa terus
menerus dan tiada putus-putusnya yang dibantu oleh hormon dan syaraf, serta
otak juga mengatur suhu badan tekanan darah, keseimbangan kadar kimia dalam
tubuh oksigen dan karbon dioksida dalam darah, serta keadaan dan kadar
berbagai zat kimia yang dikirimkan dan diambil dari berbagai organ tubuh.
2. Pengaruh
Puasa terhadap kesehatan Rohani
(a) Puasa dapat
menghilangkan sifat hewaniyah Dalam melakukan ibadah puasa tidak hanya
diwajibkan menahan lapar dan haus semata akan tetapi wajib pula menahan dan
menutup segala atau segenap panca indera dari semacam pengaruh dan perbuatan
maksiat dan harus mampu mencegah gerakan tubuh maupun bisikan bathin yang dapat
menimbulkan pengaruh pada perbuatan jelek dan tidak terpuji.
(b) Menciptakan
dan meningkatkan daya nalar.
Biasanya puasa
sebagai penapis dan penyaring yang selanjutnya menentukan kadar ketakwaan
seseorang (remaja). Mereka membentuk watak yang kukuh tegak dalam segala
keadaan dan waktu. Tidak gampang terperdaya dari terpaan dan godaan, lantaran menghujam
direlung hati iman yang mapan. Malah yang hebat lagi puasa dapat membersihkan
rohani dan
meningkatkan
nalar pikiran dari segala muskil kesukaran, serta merta mampu mengentas derajat
kemanusiaan.
(c) Nalar
pikiran ke Alam Illahi.
Sudah banyak
tokoh Islam atau para ulama’ yang mashur, cerdas lewat usahanya melalui puasa,
acapkali membuahkan tulisan-tulisan yang berharga seperti Buya Hamka, beliau melakukan
meditasinya lewat prosesi ibadah puasa, ada nalar yang mengarah kepada ruh yang
ditiupkan, disini istilahnya alam ilahiyah
(d) Aku (Ego)
lahir dan Aku bathin
Puasa merupakan
intuisi disiplin moral dan fisik yang menerawang ke alam ilahi, adalah tujuan
mulua manusia (remaja) mencapai tingkatan spiritual manusia yang paling tinggi
.
(e) Egois menjadi Ikhlas
Dalam perjalanan
yang lebih nyat, penyakit egosentris acapkali menggunakan golongan lain sebagai
alat untuk mempengaruhi atau menguasai sesuatu menjadi objek.
(f) Puasa dan
penyakit psikosomatik
Perlu adanya
pembuktian adanya dari cabang ilmu kesehatan misalnya ilmu urai tubuh (anatomi),
ilmu pengobatan (farmakologi), ilmu sebab-sebab penyakit (acteologi),
ilmu asal datangnya penyakit (patologi) dan ilmu ketentuan hilangnya
penyakit (prangnostik). Ada lagi fungsi yang bersifat rohani atau yang
bersifat Psikis, diantaranya; Kemudian dengan memperhatikan dan mempelajari
rahasiarahasia puasa, berkesimpulan bahwa Allah memfardlukan puasa atas manusia
(remaja) adalah;
a. Untuk menanam
rasa sayang dan ramah tamah kepada fakir miskin, kepada anak yatim dan kepada
orang yang melarat hidupnya.
b. Untuk
membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Kita mengetahui, bahwa puasa itu
suatu amalan Allah yang berat dan sukar. Maka a
Makalah
Al Islam Kemuhammadiyahan 2
Kelompok
2
Nama : Moch Tegar Wicaksono Al Ghany Npm :
15.0501.0002
Nama : Ryan Abdul Azis Npm : 15.0501.0006
Nama : Zulfi Ilham Majid Npm : 15.0501.0030
Teknik
Industri
Universitas
Muhammadiyah Magelang
Tahun
2016/2017
DAFTAR ISI
Pengertian Puasa………………………………………………………………………. 1
Dasar Hukum Puasa…………………………………………………………………...
2
Macam-macam
Puasa…………………………………………………………………..3
Syarat rukun puasa……………………………………………………………………...4
Syarat-syarat wajib puasa………………………………………………………………5
Fardlunya puasa, ada empat fardlunya puasa…………………………………………6
Tujuan Puasa…………………………………………………………………………….7
Tingkatan Puasa…………………………………………………………………………8
Hikmah Puasa…………………………………………………………………………..9
A. Pengertian
Puasa
1. Pengertian
Puasa secara etimologi
Puasa
dari segi bahasa berarti menahan (imsak) dan mencegah (kalf) dari
sesuatu, dengan kata lain yang sifatnya menahan dan mencegah dalam bentuk apapun
termasuk didalamnya tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama yang beretalian
dengan agama). Arti puasa dalam bahasa Arab disebut Shiyam atau Shaum
secara bahasa berarti ’menahan diri’(berpantang) dari suatu
perbuatan.
2. Pengertian
puasa secara terminologi
Puasa
artinya menahan dan mencegah diri dari hal-hal yang mubah yaitu berupa makan
dan berhubungan dengan suami istri, dalam rangka Taqarub ilallahi (mendekatkan
diri pada Allah swt,). Dalam hukum Islam puasa berarti menahan, berpantang,
atau mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan
diri dari terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib).
Jadi,
pengertian puasa menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah kemauan
dari makan, minum. Bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh,
dari terbit fajar siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya
matahari (waktu maghrib), dengan tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah. Ada
juga yang mendefinisikan puasa dari segi syara’, puasa berarti menahan
diri dari hal-hal yang membatalkannya dengan niat yang dilakukan oleh orang
yang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari,
dengan kata lain, Puasa adalah menahan diri dari perbuatan (fi’li) yang berupa
dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan) serta menahan diri dari
segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu
dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar kedua (fajar
shadiq) sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak
melakukannya, yaitu orang muslim, berakal. Tidak sedang haid, dan tidak nifas.
Puasa harus dilakukan dengan niat; yakni, bertekad dalam hati untuk mewujudkan
perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu, tujuan niat adalah membedakan
antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.
B. Sejarah Puasa
Awal
munculnya puasa berawal dari sejarah turunnya ayat Artinya : “ Maka makan,
minum, dan bersenang hatilah kamu, jika kamu melihat seorang manusia, maka
katakanlah: Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seseorang manusiapun pada hari
ini”. (Q.S. Maryam ; 26). Sejarah munculnya puasa memang sejak dulu pra agama
Islam, puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat umat
manusia sebelum Islam. Hal ini dapat diketahui dari ayat 183 : Al-Baqarah; kama
kutiba ‘alalladzina minqoblikum = sebagaimana telah ditetapkan atas
orang-orang yang sebelum kamu”. Istilah puasa pada era sekarang bukanlah
hal yang asing, ataupun baru, orang-orang mesir kuno telah mengenal puasa 5000
tahun sebelum agama samawi diturunkan orang Yunani dan Romawi juga telah
mengenal sebelum lahirnya agama Nasrani. Proses pelaksanaan puasa itu nampak
ketika ada larangan yang diberikan kepada Nabi Adam dan Dewi Hawa ketika berada
di surge tidak boleh makan buah pohon huldi (nama pohon ini tidak dapat dipastikan
karena tidak ada keterangan dari Al-Qur’an maupun Hadits), yang berimbas
keduanya diturunkan di dunia. Praktek puasa mulai nampak sejak dulu, sebagai
bukti diantaranya; Nabi Musa as. dan Nabi Isa as. Bersama umatnya, diperintahkan
oleh Allah melakukan Puasa Ramadhan pada masa itu.
Walaupaun
berkelanjutan dengan adanya perubahan model yang dilakukan pendeta-pendetanya,
yaitu dengan menambah sepuluh hari, yang aslinya tiga puluh hari jadi empat
puluh hari, adanya dalih nazar ketika ada kaumnya yang sakit parah (pendeta),
apabila pendeta itu sembuh maka mereka akan menambahnya menjadi empat puluh
hari,
jadilah puasanya
kaum nasrani menjadi empat puluh hari. Nabi Muhammadpun melihat dari golongan
orang yahudi yang melakukan puasa hari Assyura pada waktu golongan itu belum
tersentuh dengan ajaran Islam, sehingga Nabi Muhammad menyuruh kepada umat Islam
untuk melakukan hal yang sama. Memang dalam pelaksanaan puasa sudah dilakukan sejak
dulu, sebelum Islam datang, praktek puasa pada masa itu istilahnya juga difardlukan
oleh Allah, sama difardlukannya ibadah puasa Ramadhan kepada umat Islam. Fakta
sejarah yang ditemui pada umat-umat dan bangsa-bangsa yang terdahulu
menunjukkan bahwa mereka melakukan puasa sebagai sebuah naluri fitrah tanpa
standar dan ukuran yang jelas serta tegas.
Tindakan para
pendeta Yahudi dan Nasrani, misalnya, kewajiban puasa selama tiga puluh hari di
bulan Ramadhan yang bertepatan dengan musim panas, mereka merubah waktunya
kemusim semi karena dirasa memberatkan. Puasa yang semula sehari mereka merubah
menjadi sehari semalam, yaitu mulai matahari terbenam hingga matahari terbenam
keesokannya. Ini membuktikan betapa terjadi distorsi pada ibadah puasa oleh
umat dan bangsa terdahulu.
Hal
ini terbukti pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 35, Allah melarang Nabi Adam
dan Dewi Hawa memakan buah pohon tertentu, sementara ada yang menamainya dengan
nama nuah huldi, buah kekekalan, sebagaimana tersebut dalam dalam Al-Qur’an
surah Thaha ayat 120, tetapi nama itu adalah nama yang diberikan setan. Inilah barang
kali puasa dalam arti menahan diri dari hal-hal yang dilarang.
C. Dasar Hukum Puasa
Al-Qur’an
menggunakan kata shiyam sebanyak 8 kali, kesemuanya dalam arti puasa
menurut pengertian hukum syariat. Al- Qur’an juga menggunakan kata shiyam satu
kali. Tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara, seperti diajarkan
malaikat Jibril kepada Mariam a.s. ketika ada yang mempertanyakan tentang
kelahiran anaknya (Isa a.s.) kata tersebut juga terdapat dalam bentuk perintah
berpuasa dibulan Ramadhan , satu kali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan
bahwa “berpuasa adalah baik untukmu” dan satu kali menunjukkan kepada
pelaku-pelaku puasa pria dan wanita yaitu ash-shaimin wash-shaimat. Artinya:
“Hai Orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S: 2: 183).
Dalam
Al-Qur’an, ada sebagian ayat yang diawali dengan “ya ayyuhannas” ( Wahai
manusia), dan ada pula ayat yang diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu” (wahai
orang-orang yang beriman). Ayat yang diawali dengan “ya ayyuhannas” pada
umumnya turun di Makkah sebelum nabi Hijrah, sedang ayat yang diawali dengan “ya
ayyuhalladzina amanu” turun di Madinah. Jika dilihat ayat diatas, ayat
tersebut diawali dengan “ya ayyuhalladziina amanu”. Ayat ini
mewajibkan puasa kepada orangorang yang beriman dengan memakai kata kutiba.
Secara harfiah kata kutiba berarti dituliskan. Tetapi dalam ini berarti
diwajibkan. Alasan menggunakan lafadz kutiba, menurut ulama’ tafsir, kewajiban
puasa telah ada sejak sejarah manusia. Karena itu. Allah tidak menggunakan
redaksi kata furidha (diwajibkan/difardhukan) melainkan kata kutiba alasannya
antara lain; pertama, kata kutiba
mempunyai arti
seolah-olah dia sudah tertulis begitu lama sehingga tetap menjadi kewajiban,
masalahnya ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Kalau hukum sudah
berlangsung lama dan begitu penting, biasanya disebut hukum tertulis. Kata kutiba
juga menunjukkan bahwa kewajiban puasa sudah ada sejak Nabi Adam a.s. kedua,
dipakai kutiba karena pentingnya kewajiban ini. Puasa adalah suatu
kewajiban yang sangat penting, bukan sekadar perintah biasa, dikatakan penting
karena Allah sendiri yang akan memberikan imbalan pahala kepada orang yang berpuasa.
Ketiga, kewajiban puasa ini tertulis di semua kitab suci yang
azali, seperti
terdapat dalam kitab Injil, Zabur, dan Shuhuf-shuhuf Ibrahim, perbedaannya
hanyalah pada tata caranya sedangkan kewajiban puasanya itu sendiri sudah
tertulis.
Kemudian
arti Al-Shiyam (bentuk jamak dari shaum, puasa) puasa adalah menahan,
tentu bukan hanya sekedar menahan nafsu, makan dan minum. Said agil Husain
Al-Munawar et. al., Meramadhankan Semua Bulan puasa Sebagai Tangga
Ruhani, (Jakarta,: Iman Dan Hikmah), hlm. 64-65.
Prinsip
shiyam adalah menahan diri dari makan dan minum, menggauli istri, boros
dan melakukan segala tindakan yang merusak hubungan dengan Tuhan, jadi Shiyam
itu menahan bukan hanya dari makan dan minum, tapi segala-galanya. Lafadz kama
kutiba ‘ala laadzina min qablikum (sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu). Kewajiban puasa sudah ada sejak dulu jauh sebelum Nabi Muhammad
SAW. Tapi tatacara yang berbeda-beda tapi esensinya sama, yaitu pengendalian
diri agar menjadi hamba yang bertakwa. La’allakum tattaqun (agar kamu
bertakwa) kata la’ala (agar) menunjukkan adanya kaitan antara kata takwa
dengan pelaksana utama, sementara untuk arti takwa sendiri terperinci sebagai
berikut; dimulai dari arti lafadz ta’ itu sendiri, diartikan dengan tawakal15
(pasrah, menyerahkan kepada Allah SWT), ada pula yang mengartikan
dengan arti tawadu’ (merendahkan diri), tidak sombong, sopan santun,
tahu diri keberadan manusia sebagai Khalifah. Selanjutnya arti lafadz “qaf’
diartikan dengan qana’ah (menerima, bersikap sederhana) menerima
atas semua yang telah diberikan oleh Allah selama ini. Tidak ambisius
terhadap hal-hal yang belu diberikan, kemudian lafadz, wawu, diartikan
dengan wara’ (menjaga diri dari semua perbuatan dan makanan yang tidak
halal serta tidak membiasakan dengan dosa-dosa kecil) terutama dalam puasa.
Q.S.
Al-Baqarah : 184 Artinya : “ (yaitu) dalam beberapa harai yang tertentu. Maka
jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak sehari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bai orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin,
barang siapa yang dengan kertelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah : 184). Kedua, hari-hari
tertentu yang memberikan gambaran bahwa orang-orang sakit tidak bisa berpuasa
dihari-hari tertentu. Semuanya itu harus diganti dengan hari yang lain, ketiga,
dikatakan bulan ramadhan karena bulan itu diakhir kedua puluh sembikan atau
ketiga puluhnya. Jadi diakhir bulan hijriyah, kemudian untuk arti maridla,
disini ada beberapa pendapat, tapi penulis lebih cenderung mengarahkan pada
pendapat yang mengatakan bahwa yang boleh untuk tidak berpuasa adalah bagi
mereka yang dapat melemahkan fisik (tubuh seseorang/remaja) seseorang untuk
menjalani ibadah puasa atau kalau si penderita itu tidak mau minum obat ia akan
parah, jadi ketika ia berpuasa kemudian ia tidak mampu dalam kewajaran maka ia diperbolehkan
untuk tidak berpuasa. Untuk masalah musafir dalam lafadz Aw ‘ala safarin, (
mereka yang musafir) dijelaskan bagi mereka yang bebergian jauh yang sudah menempuh
40 mil , kemudian yang menjadikan patokan perjalanan selama itu adalah kadar masyaqqahnya
(keberatannya), ketika musafir
(orang yang
bepergian) itu pergi dalam keadaan puasa itu menemui keneratan maka
diperbolehkan untuk berbuka. Sementara untuk lafadz waantasumu khairun lakum
inkuntum
ta’lamun( puasa itu baik
jika kamu mengetahui), disini dapat diartikan kata khair disini
menunjukkan keabikan bak dari sisi dunia maupun akhirat. Dari sisi akhirat
sudah pasti mendapatkan pahalnya berlipat ganda, dari sisi dunia, puas sebagai
perisai seseorang (remaja) dalam kehidupannya. Sehingga orang yang berpuasa
selam satu bulan atau hingga lebih ia akan tetap terjaga.
” Islam itu ditegakkan atas lima dasar, yaitu
menyaksikan bahwa tidak ada tuhan yang patut disembah melainkan Allah dan bahwa
Nabi Muhammad saw itu utusan Allah, mengerjakan shalat (lima waktu), membayar
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji.” (H.R. Bukhari
dan Muslim)
1) Macam-macam Puasa
Macam-macam
puasa disini banyak yang menggolongkan, istilahnya pun beda-beda, ada yang
menggolong menjadi 5 golongan;
- puasa Fardlu,
- puasa Qadha,
- puasa Nazar,
- Puasa Kafarat,
- PuasaTathawwu’
(sunat), tapi ada pula yang mengistilahkan lain yakni;
-Puasa Wajib,
-Puasa kafarat,
-Puasa yang
diharamkan,
- Puasa makruh,
puasa yang
dimakruhkan, Puasa Sya’ (ragu-ragu)
a) Puasa wajib.
(fardlu)
Puasa wajib
disini bisa juga disebut dengan puasa fardlu, yang terdiri dari Puasa Ramadhan,
puasa qadla’(mengganti puasa Ramadhan yang batal pada hari-hari yang
lain), puasa kifarat (puasa yang diwajibkan karena melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan agama).
Dan puasa untuk
melaksanakan nazar (puasa yang dijanjikan oleh seseorang atas dirinya),
semuanya hukumnya wajib. Namun biasanya yang dikategorikan puasa fardlu di sini
adalah Puasa Ramadhan.
b) Puasa kafarat
.
Ialah Puasa yang
wajib ditunaikan karena berbuka dengan sengaja dalam bulan Ramadhan (dalam hal
ini khilaf), bukan karena sesuatu ‘udzur yang dibenarkan syara’, karena
bersetubuh dengan sengaja dalam bulan ranadhan pada siang hari, karena membunuh
dengan tidak sengaja, karena mengerjakan sesuatu yang diharamkan dalam Haji, serta
tidak sanggup menyembelih binatang Hadyu, karena merusak sumpah dan berdziar
terhadap istri (menyerupakan Bentuk Tubuh Istri Disamakan Dengan Muhrimnya).
Puasa kafarat ini mempunyai beberapa bentuk. Diantaranya puasa kafarat karena
salah membunuh, puasa kafarat karena sumpah dan nazar. Bentuk-bentuk ini mempunyai
hukum-hukum tertentu. Puasa kafarat, ialah puasa yang wajib dikerjakannya untuk
menutupi sesuatu keteledoran yang telah kita (remaja) lakukan;
a. Karena
merusak puasa dengan bersetubuh, yaitu dengan puasa dua bulan berturur-turut.
b. Karena
membunuh orang dengan tidak sengaja, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, jika
tidak sanggup harus memerdekaan seorang budak
c. Karena
seseorang (remaja) mengerjakan sesuatu yang haram dikerjakan dalam ihram, serta
tidak boleh menyembelih binatang Hadyu.
c) Puasa yang
diharamkan.
Ialah puasa yang
dilakukan diwaktu hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha, pada hari Tasyriq (tanggal
11,12,13 zulhijjah ), istri melakukan puasa sunnah tidak mendapatkan izin dari
suami. Untuk masalah puasa hari raya semua ulama’ sepakat mengharamkan, kecuali
Imam Hanafi, alasannya berpuasa pada dua hari raya tersebut adalah
makruh yang diharamkan itu adalah hampir mendekati kepada haram, sementara
untuk masalah puasa di hari Tasyriq, para ulama’ berbeda pendapat, Imam
Syafi’i puasa hari Tasyriq hukumnya tidak dihalalkan, baik pada
waktu melaksanakan ibadah haji atau bukan, Imam Hambali; tidak diharamkan
berpuasa pada hari tasryiq, selain melaksanakan haji, tetapi tidak diharamkan
kalau pada waktu melaksamnakan haji, Imam Hanafi; berpuasa pada hari Tasyriq
adalah makruh hanya
diharamkan pada
hari 11 dan 12 Zulhijjah pada waktu selain haji, tapi tidak diharamkan kalau
dalam melaksanakan ibadah haji, sementara puasa sunnahnya istri ulama’ sepakat
bahwa istri tidak boleh berpuasa sunnah tanpa mendapatkan izin suaminya, kalau puasanya
mengganggu hak-hak suaminya selain menurut Imam Hanafi, beliau
mengatakan puasa istri tanpa izin suaminya adalah makruh saja bukan haram.
d) Puasa makruh,
Ada beberapa
pendapat tentang puasa ini, para ulama’ sepakat tentang hari-hari makruh dalam
melakukan puasa, yakni:Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., hlm.
165.
29 Rahman Sani, op.cit.,
hlm. 39-41. Hanya hari jum’at saja, puasa hari sabtu saja, sehari atau dua hari
sebelum puasa Ramadhan serta puasa separuh terakhir pada bulan Sya’ban yang
tidak ada hubungannya dengan hari-hari sebelumnya dan tidak ada sebab yang
mengharuskan atau mewajibkan untuk berpuasa.
e) Puasa yang
disunnahkan.
Puasa yang dilaksanakan
diluar bulan Ramadhan sebagai tambahan yang dianjurkan. Serta dapat melengkapi
yang fardlu apabila tidak ada kekurangan atau cacat padanya. Puasa
sunnah dapat diistilahkan dengan puasa tathawu’ antara lain; puasa enam hari
di bulan syawal, puasa tanggal 9 Dzulhijjah, puasa ‘Assyura dan Tasyu’a
yaitu hari yang kesepuluh dan kesembilan di bulan Muharram, puasa tiga hari
di tiap-tiap bulan (tanggal 13, 14, 15, bulan qamariah), puasa senin kamis,
puasa di bulan-bulan haram (Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)30,
puasa di bulan Sya’ban dan puasa Daud, yaitu puasa sehari puasa sehari tidak puasa,
puasa setiap hari senin dan hari kamis31, serta puasa lain yang tidak menentang
pada syara’.
f) Puasa Sya’
(ragu-ragu)
Puasa hari sya’
itu biasanya dikerjakan ketika apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum,
kemudian ada titik terang bahwa hari tersebut masuk bulan ramadhan, oleh para
ulama’ ada khilafiyah untuk masalah mengqhadha’ atau apakah mendapat pahala,
menurut Imam Hanafi ia mendapatkan pahala dan tidak wajib mengqhada’. Teungku
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit. hlm. 77.
Tapi untuk Imam
Syafi’i , Imam Hambali, Imam Maliki, berpendapat puasanya
tidak mendapatkan pahala dan ia harus mengqhada’nya.
2) Syarat rukun puasa
a) Niat
Orang yang menjalankan
puasa haruslah melakukan niat didalam hati dimalam hari, karena setiap
perbuatan dikatakan sah apabila disertai dengann niat, amal (perbuatan) tanpa
niat maka sia-sialah perbuatan tersebut, begitu pula untuk puasa diwajibkan
untuk niat. Niat diwajibkan bagi puasa yang wajib ataupun puasa nazar tapi untuk
puasa sunah tidak disyaratkan niat pada malam hari namun yang penting niat
sebelum tergelincirnya matahari walaupun pada malamnya tidak ada niat untuk
puasa. Disamping itu juga puasa untuk setiap harinya merupakan ibadah yang
tersendiri-sendiri, jadinya untuk setiap melakukan puasa, wajib melakukan niat didalam
hari pada waktu malam harinya, pada tiap-tiap malam.
“ (Niat)
dikarenakan perkataan Nabi Muhammad yang berbunyi; sesungguhnya perbuatan itu
harus dengan niat dan wajib niat untuk setiap hari, karena puasa itu setiap harinya
merupakan ibadah yang tersendiri agar bisa menghalalkan perkara yang bisa
merusak puasa diantara
dua hari seperti
shalat.”
Jadi yang
dikehendaki dalam ibadah puasa disini adalah harus adanya niat, untuk
membedakan antar ibadah satu dengan yang lainnya.
b) Menahan diri
dari makan dan minum serta bersetubuh dan sengaja muntah.
Pengertian puasa
menuju sehat secara syar’i adalah menahan dan mencegah kemauan dari makan, minum.
Bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh, dari terbit fajar
siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari35 (waktu maghrib), dengan tunduk
dan mendekatkan diri kepada Allah. Jadi dengan sendirinya orang (remaja) yang
puasa tidak boleh makan dan minum dengan sengaja pada waktu yang dilarang
ketika puasa, tapi apabila tidak sengaja maka mereka (remaja) wajib qadla’, ini
menurut Ulama’ madzab namun untuk masalah pembayaran kafarah para Ulama’
madzab berbeda pendapat, Imam Hanafi mewajibkan membayar kafarah, sedangkan
Imam Syafi’i dan Imam Hambali tidak mewajibkan membayar, tetapi
bagi orang yang makan dan minum dengan atau karena lupa, maka tidak harus
mengqhada’ dan tidak pula membayar kafarah. Apalagi mereka melakukan
bersetubuh diwaktu puasa, maka mereka wajib mengqhada’ dan membayar kafarah,
ini menurut Ulama’ madzhab. Sementara membayar kafarahnya adalah
dengan memerdekakan budak, dan apabila tidak mendapatkan atau tidak bisa
membeli budak, maka ia (remaja) harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Dan jika tidak mampu, maka mereka (remaja) harus memberikan, akan kepada enam
puluh orang fakir miskin. Namun seandainya mereka (remaja) tidak mampu maka
mereka (remaja) berhak atas pemberian itu, untuk masalah muntah diwaktu puasa dengan
sengaja maka puasanya dapat merusak puasanya dan wajib mengqadla’nya ini
menurut Imam Syafi’i , dan Imam Maliki, sedang menurut Imam
Hanafi, orang yang muntah tidak membatalkan puasa, kecuali kalau muntahnya
sampai memenuhi mulutnya, sementara Imam Hambali berpendapat muntah
karena terpaksa tidak membatalkan puasa.
3) Syarat-syarat wajib puasa
a) Islam
Puasa dalah
ibadah Islamiyah, tidak sah dilakukan oleh orang yang bukan Islam, apabila
seseorang kafir, baik asli, beribu bapa kafir, besar dalam kekafiran39 atau
kafir murtad berniat berpuasa, maka tidaklah sah puasanya. Apabila seorang
(remaja) muslim yang sedang berpuasa menjadi murtad karena mencela agama Islam,
atau mengingkari sesuatu hukum Islam yang diijma’i oleh umat atau dia
mengerjakan sesuatu yang merupakan penghianatan
bagi Al-Qur’an
atau memaki seorang Nabi, niscaya keluar mereka dari Islam dan batallah
puasanya.
b) Baligh
(sampai umur)
Dalam
pelaksanaan ibadah puasa, bagi orang (remaja) muslim haruslah berumur baligh,
batasan antara laki-laki dan wanita beda, uintuk batasan laki-laki ditandai
dengan keluarnya air sperma (mimpi basah) kira-kira berumur 10-13 tahun. Namun
untuk wanita diketahui dengan keluar darah haid, sekitar umur 9- 11 tahun, akan
tetapi untuk batasan itu tidaklah mutlak, yang penting berapa umur anak itu
yang esensi mereka keluar air sperma untuk laki-laki, keluar darah haid bagi
wanita.
c) Berakal
Ibadah puasa
haruslah dilaksanakan oleh orang (remaja) yang muslim yang berakal, serta
tamyiz (bisa membedakan perkara yang baik dan perkara yang buruk). Orang
(remaja) gila tidak boleh melakukan ibadah puasa karena orang gila tidak
termasuk mukallaf (orang yang kena tuntutan ibadah), maka dengan demikian puasa
tidak wajib bagi orang (remaja) gila ketika sedang gila dan kalau dia berpuasa,
maka puasanya tidak sah, anak kecil tidak diwajibkan berpuasa, tetapi puasanya
tetap sah kalau anak tersebut sudah mumayyiz.
d) Suci dari
haid dan nifas bagi wanita
Khusus bagi
wanita yang haid nifas jika mereka melaksanakan puasa maka puasanya tidak syah
(batal), serta mereka harus mengqhada’ puasanya, sebagaimana hadits; Artinya :
“ Dari Abi Sa’id berkata: Nabi Muhammad bersabda tidak ada perbuatan apapun
apabila seseorang wanita (remaja) berhalangan haid maka tidak boleh shalat dan tidak
boleh puasa, karena perbuatan itu termasuk bisa mengurangi agama wanita
(remaja) itu ”. (H.R. Bukhari).
e) Berada
dikampung, kota, tidak wajib atas orang musafir orang yang bepergian).
Diwajibkan puasa
bagi orang Islam (remaja) itu ketika mereka berada di Desanya, namun ketika
bepergian maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Itupun kalau mereka menggunakan
Rukhsah (keringanan) itu. Asalkan keluarnya mereka sesuai dengan
syarat-syarat yang diperbolehkan untuk melakukan Shalat Qashar.
f) Mampu/kuasa
untuk berpuasa, tidak wajib atas orang yang lemah dan orang sakit.
Imam empat
madzhab mengemukakan, kalau orang yang berpuasa sakit dan menghawatirkan dengan
dirinya, ketika mereka (remaja) berpuasa maka mereka (remaja) bila suka
berpuasalah dan bila tidak maka berbukalah tertapi tidak ada ketentuan (keharusan)
berbuka baginya, karena berbuka itu merupakan rukhsah (keringanan), bukan
keharusan bagi orang yang berada sakit. Untuk mengetahui apakah mereka (orang
yang berpuasa) itu sakit atau penyakitnya akan bertambah parah bila mereka
berpuasa, maka cukuplah baginya menggunakan perkiraan atau ijtihadnya sendiri.
Kalau dirinya sangat lemah, maka hal tersebut bukan menjadi sebab untuk
diperbolehkan berbuka puasa (selama kelemahan itu sudah biasa bagi dirinya)
karena yang menjadi sebab diharuskannya (kewajiban) berbuka adalah sakit itu
sendiri, bukan karena kelemahan, keletihan atau kelelahan.
4) Fardlunya puasa, ada empat fardlunya
puasa;
a) Niat
Orang yang
berpuasa haruslah melakukan niat didalam hatinya diwaktu malam harinya, karena
niat merupakan bagian dari ibadah itu sendiri. Sebab setiap perbuatan yang ada
sangkut pautnya dengan ibadah maka niatlah yang dijadikan patokan sah tidak
diterimanya amal perbuatan manusia (remaja), puasa yang diharuskan niat diwaktu
malam harinya hanyalah puasa wajib, puasa nazar. Namun untuk puasa yang sunah
niatnya yang penting
sebelum
tergelincirnya matahari.
b) Menahan dari
makan dan minum
Arti puasa itu
sendiri menahan diri dari makan dan minum, dengan sendirinya ketika seseorang
(remaja) menjalani ibadah puasa maka mereka haruslah menahan dari perkara yang
dilarang dalam puasa, termasuk dalam masalah makan dan minum. Menahan diri ini
dimulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
c) Menahan tidak
bersetubuh
Orang puasa
sengaja bersetubuh maka mereka wajib mengqhada’ puasanya serta wajib membayar kafarah,
untuk kafarahnya menurut ulama’ madzhab adalah; dengan memerdekakan budak, dan
bila tidak mendapatkan, maka mereka (remaja) harus berpuasa selama dua bulan
berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka mereka (remaja) harus memberi
makanan kepada enam puluh orang fakir miskin, apabila mereka (remaja) tidak
mampu justru mereka (remaja) mendapat santunan atau sumbangan itu.
d) Tidak sengaja
memasukkan sesuatu lewat lubang
Orang (remaja)
yang berpuasa dilarang memasukkan sesuatu kedalam lubang yang menjurus kearah
perut, bentuk apapun yang penting sesuatu itu ketika dimasukkan mengarah atau
menjurus ke arah perut.
D.
Puasa dalam
pandangan Islam adalah ibadah vertikal, langsung kepada Illahi Rabbi dilakukan
oleh seseorang (remaja) hamba secara sendiri-sendiri (individual). Pesan untuk
berpuasa bagi segenap umat Islam disandarkan pada etika yang terdapat dalam
Al-Qur’an yang menjadi pedoman mutlak bagi kebebaran maupun keabsahannya dalam
kehidupan. Secara jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya
diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau realisasi ketakwaan yakni
menjalankan perintah Allah SWT. dan
menjauhkan diri
dari segala sesuatu yang dilarang-Nya52 dan la’allakum tattatquun. Ini
berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari
puasa. Puasa merupakan satu ibadah yang unik. Segi keunikannya misalnya,
bahwa puasa merupakam rahasia antara Allah dan pelakunya. Bukankah manusia
yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai
insan, siapapun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum
pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa?. Kalau demikian,
apa motivasinya menahan diri dari keinginan itu tentu bukan karena takut
atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat bersembunyi dari
pandangan mereka. Namun kenyataannya manusia melaksanakan ibadah puasa
hanya karena Allah SWT semata, bukan karena unsur lain. Berpuasa bagi
orang Islam (remaja) bukan saja berbakti kepada Allah, tetapi disiplin jiwa dan
moril, suatu kesadaran hidup yang tinggi bukankah tidak ada daya nafsu
yang lebih besar dari pada melepaskan lapar, sedang makan dan minuman
dibawah dipelupuk mata, meskipun demikian, daya nafsu ini dikalahkan
oleh orang yang berpuasa. Puasa telah lama dikenal oleh umat manusia,
namun mereka bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena
generasi abad sekarang inilah masih melakukannya. Puasa dalam arti “
mengendalikan dan menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam
waktu–waktu tertentu” dilakukan antara lain dengan tujuan memelihara
kesehatan atau merampingkan tubuh, atau dalam bentuk mogok makan sebagai
pertanda protes atas perlakuan pihak lain, atau dilakukan sebagai tanda solidaritas
atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, seperti yang terdapat
disentara suku-suku di India dan lainnya yang hingga kini masih berlaku.
Puasa dengan makna ragam tujuan dan bentuk tersebut dihimpun oleh satu
esensi, yaitu “pengendalian diri”. Puasa yang dilakukan umat Islam
digaris bawahi oleh Al-Qur’an sebagai “bertujuan untuk memperoleh
takwa”.
Tujuan tersebut
tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti
puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok yang menyangkut hakikat
manusia dan kewajibannya dibumi ini. Pertama, manusia diciptakan oleh
Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya, dan diberikan
potensi untuk mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya
wajar untuk menjadi Khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi
ini. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi, ia (Adam) melewati
(”transit” di) surga, agar pengalaman yang diperolehnya disana dapat dijadikan
bekal dalam menyukseskan tugas pokok di bumi ini. Pengalaman tersebut antara
lain adalah persentuhannya dengan keadaan di surga itu sendiri. Ibadah puasa
bukan hanya sekedar rutinitas tahunan (bulan Ramadhan) dengan mengerjakan amal
ibadah seperti membaca Al- Qur’an, shalat tarawih dan berbagai aktivitas rutin
lainnya, akan tetapi lebih dari itu, ibadah puasa hendaknya dapat mendidik
seseorang (remaja) mengantarkan pribadi-pribadi yang tangguh, memiliki komitmen
moral yang tinggi serta membentuk kepribadian muslim yang paripurna. Secara
jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan
adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun.
Dalam rangka
memahami tujuan tersebut agaknya perlu digaris bawahi, banyak diantara orang
yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari Puasanya, kecuali rasa lapar dan
dahaga. Banyak orang berpuasa tidak ada nilai baginya kecuali lapar dan dahaga.
Dan banyak orang bangun malam tidak ada nilai baginya selain terjaga (tidak
tidur) dan kepayahan. Itu adalah hasil yang diperoleh oleh orang (remaja) yang
berpuasa ketika tidak tahu apa yang menjadi
tujuan pokoknya.
Ada pengartian arti takwa itu sendiri; yang diartikan menurut masing-masing
huruf hijaiyyah pembentuk kata ’taqwa’ (dalam bahasa Arab),
memberikan ciri-ciri orang yang bertakwaa sebagai berikut. Pertama, Tawadu’,
maksudnya, sopan santun, tidak sombong, tidak berbuat sewenang-wenang.
Orang yang bertakwa meyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Apa yang ada paada
dirinya: pangkat, kedudukan, jabatan atau kekayaan, hanyalah barang titipan
yang pada saatnya nanti akan diambil oleh Allah, karena Allah lah pemiliknya yang
hakiki, maka dari itu sungguh tidak pantas ketika puasa seseorang (remaja)
menyombongkan diri dengan modal barang titipan. Kedua, Amanah, maksudnya,
bersikap sederhana, bila seseorang (remaja) telah mampu menyadari siapa dirinya
dan mampu menekan egonya yang tidak baik, maka ia tidak akan bersikap aneh (yang
menyalahi aturan agama). Tidak ambisius untuk mencapai sesuatu dengan jalan
yang tidak benar. Ketiga, wara’; menjaga diri dari semua perbuatan dan
makanan yang tidak halal, orang yang bertakwa tidaak akan melakukan penyelewengan,
tidak akan korup dan tidak akan melakukan perbuatan yang tidak benar.
Puasa merupakan
suatu rangka pokok dari rangka-rangka pembinaan Iman, dalam Nash Al-Qur’an dan
Al-Hadits, serta ijma’ yang muktabar menyatakan bahwa puasa benar-benar
suatu rangka dari kerangka pembinaan iman puasa. Suatu rukun dari rukun dari
rukun-rukun Islam, dan suatu ibadah ruhiyah yang positif yang difardlukan
secara tetap dan teguh. Puasa merupakan salah satu ibadah besar dalam agama
Islam. Ia termasuk dalam amal badani, amal nafsi (amal yang
berkaitan dengan jiwa) dan amal Ijabi (amal yang positif) karena itu
puasa melibatkan jasmani dan rohani sekaligus, hal ini berbeda dengan ibadah
lain, yang lain hanya melibatkan jasmani atau rohani saja, disamping itu pula puasa
Ramadhan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga hal ini terasa
berat. Dikatakan amal badani karena puasa menuntut adanya kemampuan dari
segi fisik. Yang diwajibkan puasa adalah orang-orang yang mampu untuk
melaksanakannya. Diluar itu tidak ada kewajiban baginya, karena ia merupakan
salah satu syarat wajib berpuasa. Oleh sebab itu orang-orang yang tidak mampu
seperti orang sakit, orang dalam perjalanan, orang yang sudah tua renta hamil
atau menyusui tidak diwajibkan berpuasa akan tetapi bagi mereka adalah
mengganti pada hari-hari yang lain atau membayar fidyah. “Maka barang
siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berkata),
maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka
tidak puasa) membayar fidyah (yaitu): member makan seorang miskin”. (Q.S.2:184).
“Dari Abi Hurairah r.a Sesungguhnya Rasulullah
telah bersabda : “Puasa itu benteng, janganlah ia berkata keji, dan mencaci
maki ! seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencaci makinya
hendaklah ia dikatannya : “Saya ini berpuasa” dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad
berada ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa, lebih harum disisi Allah
dari pada bau kasturi, firman-Nya : “Ditinggalkannya makan minum Dan Syahwat karena
aku. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikannya ganjaran, sedang
setiap kebajikan itu akan memberinya ganjaran sepuluh kali lipat”. Menurut
Quraish Shihab puasa yang dilakukan umat Islam digaris bawahi Al-Qur’an sebagai
:”bertujuan untuk memperoleh takwa”. Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati
arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman
terhadap dua hal pokok menyangkut hakekat manusia dan kewajibannya di bumi ini.
Pertama, manusia diciptakan oleh Allah dari tanah kemudian dihembuskan
kepadanya ruh ciptaan-Nya dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya
hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya wajar untuk menjadi Khalifah
(pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi ini Tuhan menciptakan manusia
diberi potensi untuk memiliki sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan sebagai
makhluk. Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi Adam melewati
surga, agar pengalamannya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas
pokoknya dibumi. Hal ini mendorongnya untuk menciptakan bayangan surga di bumi,
sebagaimana pengalamannya dengan setan mendorongnya untuk berhati-hati agar tidak
terpedaya lagi sehingga mengalami kepahitan yang dirasakan ketika terusir dari
surga64.
E. Tingkatan
Puasa
“Hai Orang-orang yang beriman telah diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertakwa” (Q.S: 2: 183). Derajat orang berpuasa ada tiga thabaqat derajat;
Akhmad Syarifuddin memaparkan pendapatnya Imam Al-Ghazali dan
para ulama’ lain mengklasifikasikan puasa dalam tiga tingkatan;
1. Puasa Umum
(Awam).
Puasa hanya
sekedar mengekang diri dari makan, minum, serta bersetubuh dengan istri di
siang hari, atau hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Tingkatan ini lazim
dikaitkan dengan masyarakat awam pada umumnya karena itu dinamakan shaumul
awwam ’puasa model orang awam’
2. Puasa Khusus.
Puasa dengan
mengekang diri dari makan, minum. Serta bersetubuh dengan istri di siang hari,
atau hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa, meninggalkaan makan, minum dan
syahwat karena Allah dengan mengharapkan ampunan dan surga atau terhindar dari
api neraka. Disamping itu. Mata, telinga, kaki dan yang dipelihara dari melakukan
hal-hal yang dilarang oleh agama, seperti dusta, adu domba, dan berbuka dengan
makanan haram. Tingkatan puasa kedua yang disebut shaumul khusus atau shaumul
khawas’puasa orang-orang pilihan‘ yang lazim dikerjakan orang-orang saleh.
3. Puasa khusus
dari yang khusus.
Puasa dengan
memelihara stabilitas hati dari tujuan yang bersifat duniawi, disamping
memelihara diri dari perbuatan dosa dan hal-hal seperti makan, minum, dan seks,
serta hal-hal yang membatalkan puasa, meninggalkan makan dan minum serta
syahwat, bahkan menahan hati dari segala yang lain dari Allah, karena
semata-mata mengharap keridlaan-Nya saja, sebagaimana yang dilakukan oleh para Nabi
dan Rasul, dan karenanya disebut dengan nama syaumul khususul khusus “puasa
model orang-orang pilihan diantara para pilihan”.
F. Hikmah Puasa
Adapun hikmah berpuasa
dalam Islam, adalah untuk mempersiapkan kita memperoleh takwa bukan untuk
sesuatu kepentingan Tuhan. Mekanisme puasa tidak hanya berpengaruh terhadap
kesehatan jasmani, tetapi juga terhadap rohani pelakunya, lebih dari itu,
kesehatan
jasmani dan kesehatan
rohani akan berpengaruh terhadap kesehatan sosial. Puasa yang mencapai tingkat
ihsan dan itqan adalah puasa yang memadukan aktivitas fisik dan aktivitas
psikis. Puasa lahir dan puasa batin. Disamping mengendalikan diri dari makan,
minum, seks, dan semacamnya juga mengupayakan menahan diri dari maksiat.
Anggota tubuh yang berpuasa tidak hanya mulut dan kemaluan (Farj), namun
mata, telinga, tangan, kaki, dan hati juga diupayakan turut berpuasa. Dalam
permasalahan ini dalam kaitannya dengan hikmah yang terjadi dalam melaksanakan
ibadah puasa secara garis besar di uraikan dalam dua masalah;
1. Pengaruh
puasa terhadap kesehatan jasmani.
Tubuh manusia
dibekali beberapa terapi alamiah dalam keadaan tubuh tidak kemasukan sebutir
nasipun, manusia masih mempunyai cadangan energi yang disebut glikogen.
Cadangan yang diperoleh dari karbohidrat ini bertahan selama 25 jam, dengan
demikian, anak atau seseorang yang menjalankan puasa tidak perlu khawatir menjadi
sakit karena tubuh mempunyai mekanisme alamiah untuk mempertahankan dirinya.
(a)
Mengistarahatkan organ-organ pencernaan
Manusia dalam
kesehariannya atau diluar puasa bulan puasa ketika sedang tidak berpuasa,
alat-alat pencernaan di dalam tubuh akan bekerja ekstra keras, oleh karena itu.
Sudah sepatutnya alat pencernaan tersebut diberi waktu untuk beristirahat,
paling sedikitnya selama satu bulan dalam setahun. Makanan yang masuk kedalam
tubuh manusia (remaja) memerlukan proses pencernaan kuramng lebih dari delapan jam
yang terdiri dari empat jam diproses di dalam lambung dan empat jam di usus
kecil (ileum).
(b) Membersihkan
tubuh dari racun, kotoran dan ampas
Dalam tubuh
manusia terdapat sampah berbahaya semisal feaces atau tinja, urine,
CO 2 dari keringat maka dari itu tubuh akan terancam bahaya juka mengalami
sembelit yang disebabkan oleh menumpuknya sisa-sisa sari makanan (tinja) di
usus yang dampaknya akan menyebabkan tinja/racun terserap kembali pada tubuh.
(c) Mempercepat
regenerasi kulit
Tubuh
manusia(remaja) mengalami metabolisme energi yakni, peristiwa perubahan
dari energi yang terkandung dalam zat gizi menjadi energi potensial dalam
tubuh, sisanya akan
disimpan dalam
tubuh, sel ginjal, sel kulit, pelupuk mata serta dalam bentuk lemak dan glikogen.
Cadangan gizi inilah yang akan membakar menjadi energi jika jika tubuh tidak
mendapat suplai pangan dari luar, ketika berpuasa manusia (remaja) akan cadangan
energi yang tersimpan dalam organ-organ tubuh akan dikeluarkan, yang akhirnya
melegakan pernafasan organorgan tubuh dan sel penyimpanan. Menghambat
perkembangan atau pertumbuhan bakteri, virus dan sel kanker. Dalam tubuh
manusia (anak) terdapat parasitparasit yang menumpang hidup termasuk menumpang
makan dan minum, dengan jalan menghentikan pemasukan makanan. Maka kuman-kuman
penyakit seperti bakteri-bakteri dan selsel kanker tidak akan bisa bertahan
hidup, mereka akan keluar melalui cairan tubuh bersama sel-sel yang telah mati
dan toksin.
(d) Meningkatkan
sistem kekebalan tubuh
Adanya
penambahan sel darah putih, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
para ahli kesehatan. Meningkatkan daya serap tubuh, Umumnya orang hanya menyerap
35 % dari gizi makanan yang dikonsumsinya dengan berpuasa penyerapan gizi dapat
mencapai 85 %.
(e) Menciptakan
keseimbangan elektrolit di dalam lambung
Keberadaan zat
kimia yang bersifat alkali dan bersifat asam di dalam tubuh manusia
(remaja) harus seimbang.
(f) Memperbaiki
fungsi hormon
Kelenjar endokrin
akan menghasilkan zat-zat kimia yang mengeluarkan hormon, jika tugasnya
sudah selesai, maka pengeluaran hormon akan dihentikan untuk sementara waktu sambil
menunggu tugas yang sama berikutnya, hal ini karena pada saat-saat terttentu
misalnya disaat sedih, gembira, cemas, bersikap sosial dan sebagainya.
(g) Meningkatkan
fungsi organ reproduksi
Peningkatan fungsi
organ reproduksi ini erat kaitannya dengan peremajaan sel yang mendatangkan
perubahan pada sel-sel urogenitalis dan jaringan-jaringan organ
reproduksi wanita, terjadi perubahan metabolik pada saat menjalankan
puasa, terutama yang dilangsungkan lewat kelenjar-kelenjar endokrin.
(h) Meremajakan atau mempercepat pegenasi sel-sel
tubuh.
Organ-organ
tubuh ketika manusia menjalankan puasa organ ini akan dalam keadaan rileks,
organ-organ tubuh disini terdiri dari jaringan-jaringan yang merupakan kumpulan
dari sel-sel
sejenis serta
ada berbagai macam sel dalam tubuh manusia, antara lain sel darah, sel tulang,
sel syaraf, sel otot dan sel lemak.
(i) Meningkatkan
fungsi fisiologis organ tubuh
Manusia (remaja)
berpuasa berati memberikan kesempatan interval selam kurang lebih empat belas
jam bgi organ-organ tubuh seperti lambung, ginjal dan lever, selama itu tubuh
tidak
menerima makanan
maupun minuman. Sehingga akan menimbulkan efek berupa rangsangan terhadap seluruh
sel, jaringan dan organ tubuh, efek rangsangan ini akan menghasilkan,
memulihkan dan meningkatkan fungsi fisiologinya, misalkan panca indra menjadi
semakin tajam dan peka.
(j) Meningkatkan
fungsi Syaraf.
Syaraf merupakan
merupakan bagian yang sangat vital, karena susunan syaraf terdiri dari otak dan
syaraf tulang belakang, permasalahannya otak bertindak atas dasar informasi
yang
diterimaa terus
menerus dan tiada putus-putusnya yang dibantu oleh hormon dan syaraf, serta
otak juga mengatur suhu badan tekanan darah, keseimbangan kadar kimia dalam
tubuh oksigen dan karbon dioksida dalam darah, serta keadaan dan kadar
berbagai zat kimia yang dikirimkan dan diambil dari berbagai organ tubuh.
2. Pengaruh
Puasa terhadap kesehatan Rohani
(a) Puasa dapat
menghilangkan sifat hewaniyah Dalam melakukan ibadah puasa tidak hanya
diwajibkan menahan lapar dan haus semata akan tetapi wajib pula menahan dan
menutup segala atau segenap panca indera dari semacam pengaruh dan perbuatan
maksiat dan harus mampu mencegah gerakan tubuh maupun bisikan bathin yang dapat
menimbulkan pengaruh pada perbuatan jelek dan tidak terpuji.
(b) Menciptakan
dan meningkatkan daya nalar.
Biasanya puasa
sebagai penapis dan penyaring yang selanjutnya menentukan kadar ketakwaan
seseorang (remaja). Mereka membentuk watak yang kukuh tegak dalam segala
keadaan dan waktu. Tidak gampang terperdaya dari terpaan dan godaan, lantaran menghujam
direlung hati iman yang mapan. Malah yang hebat lagi puasa dapat membersihkan
rohani dan
meningkatkan
nalar pikiran dari segala muskil kesukaran, serta merta mampu mengentas derajat
kemanusiaan.
(c) Nalar
pikiran ke Alam Illahi.
Sudah banyak
tokoh Islam atau para ulama’ yang mashur, cerdas lewat usahanya melalui puasa,
acapkali membuahkan tulisan-tulisan yang berharga seperti Buya Hamka, beliau melakukan
meditasinya lewat prosesi ibadah puasa, ada nalar yang mengarah kepada ruh yang
ditiupkan, disini istilahnya alam ilahiyah
(d) Aku (Ego)
lahir dan Aku bathin
Puasa merupakan
intuisi disiplin moral dan fisik yang menerawang ke alam ilahi, adalah tujuan
mulua manusia (remaja) mencapai tingkatan spiritual manusia yang paling tinggi
.
(e) Egois menjadi Ikhlas
Dalam perjalanan
yang lebih nyat, penyakit egosentris acapkali menggunakan golongan lain sebagai
alat untuk mempengaruhi atau menguasai sesuatu menjadi objek.
(f) Puasa dan
penyakit psikosomatik
Perlu adanya
pembuktian adanya dari cabang ilmu kesehatan misalnya ilmu urai tubuh (anatomi),
ilmu pengobatan (farmakologi), ilmu sebab-sebab penyakit (acteologi),
ilmu asal datangnya penyakit (patologi) dan ilmu ketentuan hilangnya
penyakit (prangnostik). Ada lagi fungsi yang bersifat rohani atau yang
bersifat Psikis, diantaranya; Kemudian dengan memperhatikan dan mempelajari
rahasiarahasia puasa, berkesimpulan bahwa Allah memfardlukan puasa atas manusia
(remaja) adalah;
a. Untuk menanam
rasa sayang dan ramah tamah kepada fakir miskin, kepada anak yatim dan kepada
orang yang melarat hidupnya.
b. Untuk
membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Kita mengetahui, bahwa puasa itu
suatu amalan Allah yang berat dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara
segala amanah
dengan sempurna
terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita.
d. Untuk
menyuburkan dalam jiwa kita kekuatan menderita apabila kita terpaksa menderita
dan untuk menguatkan iradat, atau kehendak kita dan untuk meneguhkan azimah
atau keinginan dan kemauan. Landasan orang berpuasa dari segi psikis
seperti hadits yang di
ceritakan
sahabat Sa’id Bin Musayyab; Artinya : “Dari Sa’id Bin Musayyab sesungguhnya dia
telah mendengarkan dari Abi Hurairah r.a berkat, Rasulullah telah bersabda:
“Semua amalan manusia adalah untuk dirinya kecuali puasa, maka itu adalah
untukku dan aku
yang akan memberikan
ganjaran”. (H.R. Muslim). Imam Abi
Husain Muslim ibnu Al-Hajj Al-Qusyairy Al-Naesaburi, (Jakarta: Dahlan, tth)
hlm. 806.pabila kita dapat memelihara
segala amanah
dengan sempurna
terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita.
d. Untuk
menyuburkan dalam jiwa kita kekuatan menderita apabila kita terpaksa menderita
dan untuk menguatkan iradat, atau kehendak kita dan untuk meneguhkan azimah
atau keinginan dan kemauan. Landasan orang berpuasa dari segi psikis
seperti hadits yang di
ceritakan
sahabat Sa’id Bin Musayyab; Artinya : “Dari Sa’id Bin Musayyab sesungguhnya dia
telah mendengarkan dari Abi Hurairah r.a berkat, Rasulullah telah bersabda:
“Semua amalan manusia adalah untuk dirinya kecuali puasa, maka itu adalah
untukku dan aku
yang akan memberikan
ganjaran”. (H.R. Muslim). Imam Abi
Husain Muslim ibnu Al-Hajj Al-Qusyairy Al-Naesaburi, (Jakarta: Dahlan, tth)
hlm. 806.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar